Welcome

Rasulullah bersabda; "Apabila kalian menginginkan kasih sayang dari Allah dan Rasul Nya maka sampaikanlah amanat, jujurlah dalam berbicara, dan berbuat baiklah kepada orang yang menjadi tetangga kalian." (HR. Tabrani)

Minggu, 26 Juni 2011

Askep Hernia




A.    Definisi
-          Adalah suatu benjolan/penonjolan isi perut dari rongga normal melalui lubang kongenital atau didapat(1).
-          Adalah penonjolan usus melalui lubang abdomen atau lemahnya area dinding abdomen (3).
-          Is the abnormal protrusion of an organ, tissue, of part of an organ through the structure that normally cotains it (1).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah penonjolan dari isi perut dalam rongga normal melalui lubang yang kongenital ataupun didapat.

B.     Etiologi

Hernia dapat terjadi karena lubang embrional yang tidak menutup atau melebar, atau akibat tekanan rongga perut yang meninggi (2).

C.    Klasifikasi
1.       Menurut/tofografinya : hernia inguinalis, hernia umbilikalis, hernia femoralis dan sebagainya.
2.       Urut isinya : hernia usus halus, hernia omentum, dan sebagainya.
3.       Menurut terlibat/tidaknya : hernia eksterna (hernia ingunalis, hernia serofalis dan sebagainya).
Hernia inferna tidak terlihat dari luar (hernia diafragmatika, hernia foramen winslowi, hernia obturatoria).
4.       Causanya : hernia congenital, hernia traumatika, hernia visional dan sebagainya.
5.       Keadaannya : hernia responbilis, hernia irreponibilis, hernia inkarserata,                   hernia strangulata.
6.       Nama penemunya :
a.       H. Petit (di daerah lumbosakral)
b.       H. Spigelli (terjadi pada lenea semi sirkularis) di atas penyilangan rasa epigastrika inferior pada muskulus rektus abdominis bagian lateral.
c.       H. Richter : yaitu hernia dimana hanya sebagian dinding usus yang terjepit.
7.       Beberapa hernia lainnya :
a.       H. Pantrolan adalah hernia inguinalis dan hernia femoralis yang terjadi pada satu sisi dan dibatasi oleh rasa epigastrika inferior.
b.       H. Skrotalis adalah hernia inguinalis yang isinya masuk ke skrotum secara lengkap.
c.       H. Littre adalah hernia yang isinya adalah divertikulum Meckeli.

D.    Tanda dan Gejala
Umumnya penderita menyatakan turun berok, burut atau kelingsir atau menyatakan adanya benjolan di selakanganya/kemaluan.bnjolan itu bisa mengecil atau menghilang, dan bila menangis mengejan waktu defekasi/miksi, mengangkat benda berat akan timbul kembali. Dapat pula ditemukan rasa nyeri pada benjolan atau gejala muntah dan mual bila telah ada komplikasi.
E.    Penatalaksanaan (2)
-          Pada hernia inguinalis lateralis reponibilis maka dilakukan tindakan bedah efektif karena ditakutkan terjadi komplikasi.
-          Pada yang ireponibilis, maka diusahakan agar isi hernia dapat dimasukkan kembali. Pasien istirahat baring dan dipuasakan atau mendapat diit halus. Dilakukan tekanan yang kontinyu pada benjolan misalnya dengan bantal pasir. Baik juga dilakukan kompres es untuk mengurangi pembengkakan. Lakukan usaha ini berulang-ulang sehingga isi hernia masuk untuk kemudian dilakukan bedah efektif di kemudian hari atau menjadi inkarserasi.
-          Pada inkerserasi dan strangulasi maka perlu dilakukan bedah darurat.
Tindakan bedah pada hernia ini disebut herniotomi (memotong hernia dan herniorafi (menjahit kantong hernia). Pada bedah efektif manalis dibuka, isi hernia dimasukkan,kantong diikat dan dilakukan “bassin plasty” untuk memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
Pada bedah darurat, maka prinsipnya seperti bedah efektif. Cincin hernia langsung dicari dan dipotong. Usus dilihat apakah vital/tidak. Bila tidak dikembalikan ke rongga perut dan bila tidak dilakukan reseksi usus dan anastomois “end to end”.

F.    Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul (3)
1.       Nyeri (khususnya dengan mengedan) yang berhubungan dengan kondisi hernia atau intervensi pembedahan.
Hasil yang diperkirakan : dalam 1 jam intervensi, persepsi subjektif klien tentang ketidaknyamanan menurun seperti ditunjukkan skala nyeri.
Indikator objektif seperti meringis tidak ada/menurun.
a.       Kaji dan catat nyeri
b.      Beritahu pasien untuk menghindari mengejan, meregang, batuk dan mengangkat benda yang berat.
c.       Ajarkan bagaimana bila menggunakan dekker (bila diprogramkan).
d.      Ajarkan pasien pemasangan penyokong skrotum/kompres es yang sering diprogramkan untuk membatasi edema dan mengendalikan nyeri.
e.       Berikan analgesik sesuai program.

2.       Retensi urine (resiko terhadap hal yang sama) yang berhubungan dengan nyeri, trauma dan penggunaan anestetik selama pembedahan abdomen. Hasil yang diperkirakan : dalam 8-10 jam pembedahan, pasien berkemih tanpa kesulitan. Haluaran urine ³ 100 ml selama setiap berkemih dan adekuat (kira-kira 1000-1500 ml) selama periode 24 jam.
a.       Kaji dan catat distensi suprapubik atau keluhan pasien tidak dapat berkemih.
b.       Pantau haluarna urine. Catat dan laporkan berkemih yang sering < 100 ml dalam suatu waktu.
c.       Permudah berkemih dengan mengimplementasikan : pada posisi normal untuk berkemih rangsang pasien dengan mendengar air mengalir/tempatkan pada baskom hangat.

3.       Kurang pengetahuan : potensial komplikasi GI yang berkenaan dengan adanya hernia dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan mereka. Hasil yang diperkirakan : setelah  instruksi, pasien mengungkapkan pengetahuan tentang tanda dan gejala komplikasi GI dan menjalankan tindakan yang diprogramkan oleh pencegahan.
a.       Ajarkan pasien untuk waspada dan melaporkan nyeri berat, menetap, mual dan muntah, demam dan distensi abdomen, yang dapat memperberat awitan inkarserasi/strangulasi usus.
b.      Dorong pasien untuk mengikuti regumen medis : penggunaan dekker atau penyokong lainnya dan menghindari mengejan meregang, konstipasi dan mengangkat benda yang berat.
c.       Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi diit tinggi residu atau menggunakan suplement diet serat untuk mencegah konstipasi, anjurkan masukan cairan sedikitnya 2-3 l/hari untuk meningkatkan konsistensi feses lunak.
d.      Beritahu pasien mekanika tubuh yang tepat untuk bergerak dan mengangkat.



























DAFTAR PUSTAKA


1.      Core Principle and Practice of Medical Surgical Nursing. Ledmann’s.
2.      Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II. Medica Aesculaplus FK UI. 1998.
3.      Keperawatan Medikal Bedah. Swearingen. Edisi II. EGC. 2001.
4.      Keperawatan Medikal Bedah. Charlene J. Reeves, Bayle Roux, Robin Lockhart. Penerjemah Joko Setyono. Penerbit Salemba  Media. Edisi I. 2002.
5.      Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar UI. FK UI.










Selasa, 21 Juni 2011

Jadwal Shalat Subuh Dipermasalahkan

Oleh
Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah


MUQODDIMAH
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Apabila shalat dilakukan sebelum waktunya atau sesudah waktunya berlalu maka tidak sah. Allah Subha ahu wa Ta’ala berfirman.

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [an-Nisa 4 : 103]

Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1]. Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu shalat yang lain.

Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di negara-negara Islam.

Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]

AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.

Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.

Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]

WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الفجر فجران فجر يحرم فية الطعام وتحل فية الصلأة وفجر تحرم فية الصلأة ويحل فية الطعام

“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]

PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].

AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.

Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.

Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]

DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Ibnu Faris rahimahullah berkata الفجر (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).

Ibnu Mandur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala من الفجر sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]

Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]

Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الخيط الأبيض adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]

Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat من الفجر ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]

Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

فكاوا وا ثربواحتى يعتزصى لكم الأحمز

“Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].

Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).

Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]

Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]

Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.

Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh dimulai)”.

Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.

“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) من الفجر yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan من الفجر yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]

Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum” [12]

Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]

TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.

Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.

Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna, sebagaimana dalam haditsnya.

ثم صــلى الفجر حين برق الفجر

“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]

KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.

Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.

Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]

AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini pada abad 15M

Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan sangat tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]

Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah mereka. [17]

Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.

HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]

Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.

1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.

2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.

3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]

FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :

“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.

Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.

Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.

Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.

Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin”.

Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]

FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”. Beliau berkata :

“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya” [23]

TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]

AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الد ين النصيحة قلنا لمن؟ قا ل للة ولكتا بة ولرسولة ولأئمة المسلمين وعا متهم

“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]

Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.

Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]

KESIMPULAN
1). Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.
2). Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.
3). Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar yersebut.
4). Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
5). Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_________
Footnotes
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hamper di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh hlm.7)
[5]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya : “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya menngatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13 

http://almanhaj.or.id/content/2562/slash/0

Sabtu, 18 Juni 2011

Surat Al-Fatihah (Arabic)

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ ﴿١﴾ (1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
تفسير البسملة روي عن ابن عباس رضي اللّه عنهما أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم كان لا يعرف فصل السورة حتى ينزل عليه ‏‏بسم الله الرحمن الرحيم‏‏ ‏"‏رواه أبو داود بإسناد صحيح وأخرجه الحاكم في مستدركه‏"‏ وقد افتتح بها الصحابة كتاب اللّه، ولهذا تُستحب في أول كل قولٍ وعمل لقوله عليه السلام‏:‏ ‏(‏كل أمر لا يبدأ فيه ببسم اللّه الرحمن الرحيم فهو أجذم‏)‏ فتستحب في أول الوضوء لقوله عليه السلام‏:‏ ‏(‏لا وضوء لمن لم يذكر اسم اللّه عليه‏)‏ ‏"‏رواه أحمد وأصحاب السنن من رواية أبي هريرة مرفوعا‏" ‏وتستحب عند الذبيحة في مذهب الشافعي وأوجبها آخرون، وتستحب عن الأكل لقوله عليه السلام‏:‏ ‏(‏ قل‏:‏ بسم اللّه، وكلْ بيمينك، وكلْ ممّا يليك‏)‏ ‏"‏رواه مسلم في قصة عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم‏"‏وتستحب عند الجماع لقوله عليه السلام‏:‏ ‏(‏لو أنَّ أحدكم إذا أراد أن يأتي أهله قال‏:‏ بسم اللّه، اللهم جنبنا الشيطان وجنّب الشيطان ما رزقتنا، فإنه إن يُقدَّر بينهما ولدٌ لم يضره الشيطان أبداً‏)‏ ‏"‏رواه الشيخان عن ابن عباس عن النبي صلى اللّه عليه وسلم ‏"‏ والمتعلق بالباء في قوله بسم اللّه منهم من قدّره باسم تقديره‏:‏ باسم اللّه ابتدائي، ومنهم من قدّره بفعل تقديره‏:‏ أبدأ باسم اللّه، أو ابتدأت باسم اللّه، وكلاهما صحيح فإن الفعل لا بدَّ له من مصدر، فلك أن تقدّر الفعل ومصدره، فالمشروعُ ذكر اسم اللّه في الشروع في ذلك كله تبركاً وتيمناً واستعانة على الإتمام والتقبل، ويدل للأول قوله تعالى‏:‏ ‏‏بسم الله مجريها ومرساها‏‏ ويدل للثاني قوله تعالى‏:‏ ‏‏اقرأ باسم ربك الذي خلق‏‏‏.‏ واللّه علمٌ على الربّ تبارك وتعالى يقال إنه الاسم الأعظم لأنه يوصف بجميع الصفات كما قال تعالى‏:‏ ‏‏هو الله الذي لا إله إلى هو عالم الغيب والشهادة هو الرحمن الرحيم‏‏ الآيات، فأجرى الأسماء الباقية كلها صفات كما قال تعالى‏:‏ ‏‏ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها‏‏ وقال تعالى‏:‏ ‏‏قل ادعوا الله أو ادعوا الرحمن أيا ما تدعوا فله الأسماء الحسنى‏‏ وفي الصحيحين‏:‏ ‏(‏إنّ للّه تسعة وتسعين اسماً، مائة إلا واحداً، من أحصاها دخل الجنة‏)‏ ‏"‏رواه الشيخان عن أبي هريرة عن النبي صلى اللّه عليه وسلم ‏"‏ وهو اسم لم يسمّ به غيره تبارك وتعالى ولهذا لا يعرف له - في كلام العرب - اشتقاقٌ، فهو اسم جامد وقد نقله القرطبي عن جماعة من العلماء منهم الشافعي و الغزالي و إمام الحرمين وقيل‏:‏ إنه مشتقُّ من أله يأله إلاهةً، وقد قرأ ابن عباس ‏‏ويذرك وإلاهتك‏‏ أي عبادتك، وقيل‏:‏ مشتقُّ من وله إذا تحيّر، لأنه تعالى يحير في الفكر في حقائق صفاته، وقيل‏:‏ مشتقُّ من ألهتُ إلى فلان‏:‏ أي سكنت إليه، فالعقول لا تسكن إلا إلى ذكره، والأرواح لا تفرح إلا بمعرفته، لأنه الكامل على الإطلاق دون غيره، قال تعالى‏:‏ ‏‏ألا بذكر اللّهِ تطمئنُ القلوب‏‏، وقد اختار الرازي أنه اسم غير مشتق البتة، وهو قول الخليل وسيبويه وأكثر الأصوليين والفقهاء‏.‏ ‏‏الرحمن الرحيم‏‏ اسمان مشتقان من الرحمة على وجه المبالغة، و‏‏رحمن‏‏ أشد مبالغة من ‏‏رحيم‏‏ وزعم بعضهم أنه غير مشتق، قال القرطبي‏:‏ والدليل على أنه مشتق ما روي في الحديث القدسي‏:‏ ‏(‏أنا الرحمن خلقتُ الرحم وشققت لها اسماً من اسمي، فمن وصلها وصلته، ومن قطعها قطعته‏)‏ ‏"‏أخرجه الترمذي وصححه عن عبد الرحمن بن عوف عن النبي صلى الله عليه وسلم‏"‏قال القرطبي‏:‏ وهذا نصٌ في الاشتقاق فلا معنى للمخالفة والشقاق، وإنكار العرب لاسم ‏‏الرحمن‏‏ لجهلهم باللّه وبما وجب له، وبناء فعلان ليس كفعيل، فإن فعلان لا يقع إلاّ على مبالغة الفعل نحو قولك رجلٌ غضبان للممتلئ غضباً، و فعيل قد يكون بمعنى الفاعل والمفعول‏.‏ قال ابن جرير‏:‏ ‏‏الرحمن‏‏ لجميع الخلق، ‏‏الرحيم‏‏ بالمؤمنين، ولهذا قال تعالى ‏‏الرحمن على العرش استوى‏‏ فذكر الاستواء باسمه الرحمن ليعمّ جميع خلقه برحمته، وقال‏:‏ ‏‏وكان بالمؤمنين رحيما‏‏ فخصهم باسمه الرحيم‏.‏ فدلّ على أن ‏‏الرحمن‏‏ أشد مبالغة في الرحمة لعمومها في الدارين لجميع خلقه، و ‏‏الرحيم‏‏ خاصة بالمؤمنين، واسمه تعالى ‏‏الرحمن‏‏ خاص لم يسم به غيره، قال تعالى‏:‏ ‏‏قل ادعوا اللّه أو ادعوا الرحمن‏‏ وقال تعالى‏:‏ ‏‏أجعلنا من دون الرحمن آلهة يُعبدون‏‏‏؟‏ ولما تجرأ مسيلمة الكذاب وتسمى برحمن اليمامة كساه اللّه جلباب الكذب وشهر به، فلا يقال إلا مسيلمة الكذّاب فصار يضرب به المثل في الكذب بين أهل الحضر والمدر‏.‏ وقد زعم بعضهم أن الرحيم أشد مبالغة من الرحمن لأنه أكّد به، والمؤكِّدُ لا يكون إلا أقوى من المؤَكَّد، والجواب أن هذا ليس من باب التأكيد وإنما هو من باب النعت ولا يلزم ما ذكروه، فإن قيل‏:‏ فإذا كان الرحمن أشد مبالغة فهلا اكتفى به عن الرحيم‏؟‏ فقد قيل‏:‏ إنه لمّا تسمّى غيره بالرحمن جيء بلفظ الرحيم ليقطع الوهم بذلك، فإنه لا يوصف بـ ‏‏الرحمن الرحيم‏‏ إلا اللّه تعالى، كذا رواه ابن جرير عن عطاء ووجّهه بذلك واللّه أعلم‏.‏ والحاصل أن من أسمائه تعالى ما يسمى به غيره، ومنها ما لا يسمى به غيره كاسم اللّه و الرحمن و الخالق و الرازق ونحو ذلك، وأما الرحيم فإن اللّه وصف به غيره حيث قال في حق النبي‏:‏ ‏‏بالمؤمنين رءوفٌ رحيم‏‏، كما وصف غيره ببعض أسمائه فقال في حق الإنسان‏:‏ ‏‏فجعلناه سميعا بصيرا‏‏‏.
الحَمدُ لِلَّهِ رَبِّ العٰلَمينَ ﴿٢﴾ (2) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,
قال ابن جرير: معنى الحمد للّه الشكر للّه خالصا دون سائر ما يعبد من دونه، ودون كل ما برأ من خلقه، بما أنعم على عباده من النعم التي لا يحصيها العدد، ولا يحيط بعددها غيره أحد، في تصحيح الآلات لطاعته، وتمكين جوارح المكلفين لأداء فرائضه، مع ما بسط لهم في دنياهم من الرزق، وغذاهم به من نعيم العيش، فلربنا الحمد على ذلك كله أولا وآخرا، الحمد للّه ثناءٌ أثنى به على نفسه، وفي ضمنه أمر عباده أن يثنوا عليه فكأنه قال: قولوا الحمد للّه، ثم قال: وأهل المعرفة بلسان العرب يوقعون كلا من الحمد والشكر مكان الآخر. قال ابن كثير: وهذا الذي ادعاه ابن جرير فيه نظر، لأنه اشتهر عند كثير من المتأخرين أن الحمد هو الثناء بالقول على المحمود بصفاته اللازمة والمتعدية، والشكرُ لا يكون إلا على المتعدية، ويكون بالجَنَان، واللسان، والأركان كما قال الشاعر: أفادتكم النعماء مني ثلاثة ** يدي ولساني والضمير المحجّبا وقال الجوهري: الحمد نقيض الذم تقول: حمدت الرجل أحمده حمدا فهو حميد ومحمود، والتحميد أبلغ من الحمد، والحمد أعمّ من الشكر، والشكرُ هو الثناء على المحسن بما أولاه من المعروف، يقال، شكرته وشكرتُ له وباللام أفصح، وأما المدح فهو أعمّ من الحمد لأنه يكون للحي، وللميت، وللجماد، كما يمدح الطعام والمكان ونحو ذلك، ويكون قبل الإحسان وبعده على الصفات المتعدية واللازمة أيضا فهو أعم. وفي الحديث الشريف عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم أنه قال: أفضلُ الذكر لا إله إلا اللّه، وأفضل الدعاء الحمدُ للّه ""رواه الترمذي عن جابر بن عبد اللّه وقال: حسن غريب""وعنه صلى اللّه عليه وسلم أنه قال: (ما أنعم اللّه على عبدٍ نعمة فقال: الحمد للّه، إلاّ كان الذي أعطَى أفضل مما أخذ ) ""رواه ابن ماجة عن أنس بن مالك"" وعن ابن عمر أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم حدَّثهم (أن عبدا من عباد اللّه قال: يا رب لك الحمدُ كما ينبغي لجلال وجهك، وعظيم سلطانك، فعضلت بالملكين فلم يدريا كيف يكتبانها فصعدا إلى اللّه فقالا: يا ربنا إن عبدا قد قال مقالة لا ندري كيف نكتبها، قال اللّه - وهو أعلم بما قال عبده - ماذا قال عبدي؟ قالا: يا رب إنه قال: لك الحمد يا رب كما ينبغي لجلال وجهك وعظيم سلطانك، فقال اللّه لهما: اكتباها كما قال عبدي حتى يلقاني فأجزيه بها ) ""رواه ابن ماجة عن ابن عمر"" والألف واللاّم في الحمد لاستغراق جميع أجناس الحمد وصنوفه للّه تعالى كما جاء في الحديث: (اللهم لك الحمد كُلُّه، ولك الملك كلُّه، وبيدك الخير كلُّه، وإليك يرجع الأمر كلُّه) الحديث. رب العالمين الربُّ هو المالك المتصرف، ويطلق في اللغة على السيد، وعلى المتصرف للإصلاح، وكلُّ ذلك صحيح في حق اللّه تعالى، ولا يستعمل الرب لغير اللّه إلا بالإضافة، تقول ربُّ الدار، وأما الرب فلا يقال إلا للّه عزّ وجلّ. والعالمين جمع عالم وهو كل موجود سوى اللّه عزّ وجلّ، وهو جمعٌ لا واحد له من لفظه، والعوالم أصناف المخلوقات في السماوات، وفي البر، والبحر. وقال الفراء وأبو عبيد، العالم عبارة عمّا يعقل وهم الإنس والجن والملائكة والشياطين، ولا يقال للبهائم عالم. وقال الزجاج: العالم كلٌّ ما خلق اللّه في الدنيا والآخرة، قال القرطبي: وهذا هو الصحيح أنه شامل لكل العالمين قال تعالى: قال فرعون وما ربُّ العالمين؟ قال ربُّ السموات والأرض وما بينهما إن كنتم موقنين والعالم مشتقٌ من العلامة، لأنه دال على وجود خالقه وصانعه وعلى وحدانيته جلَّ وعلا كما قال ابن المعتز: فيا عجبا كيـف يعصى الإلـ ** ـه أم كيف يجحده الجاحد وفي كـل شـيء لـه آيـة ** تدل على أنه واحـــــد
الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ ﴿٣﴾ (3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
وقوله تعالى الرحمن الرحيم قال القرطبي: إنما وصف نفسه بالرحمن الرحيم بعد قوله رب العالمين ليكون من باب قرن الترغيب بالترهيب كما قال تعالى: نبئ عبادي أني أنا الغفور الرحيم، وأنَّ عذابي هو العذاب الأليم وقوله: إن ربك سريع العقاب وإنه لغفور رحيم فالرب فيه ترهيب، والرحمن الرحيم ترغيب، وفي الحديث: (لو يعلم المؤمن ما عند اللّه من العقوبة ما طمع في جنته أحد، ولو يعلم الكافر ما عند اللّه من الرحمة ما قنط من رحمته أحد ) ""رواه مسلم عن أبي هريرة مرفوعا""
مٰلِكِ يَومِ الدّينِ ﴿٤﴾ (4) Yang menguasai hari pembalasan.
قرأ بعض القراء مَلِك وقرأ آخرون مالك وكلاهما صحيح متواتر، ومالك مأخوذ من المِلْك كما قال تعالى: إنا نحن نرثُ الأرض ومن عليها وإلينا يُرجعون، و ملك مأخوذ من المُلك كما قال تعالى: لمن الملك اليوم؟ وقال: الملك يومئذ الحق للرحمن وتخصيص الملك بيوم الدين لا ينفيه عما عداه لأنه قد تقدم الإخبار بأنه رب العالمين وذلك عام في الدنيا والآخرة، وإنما أضيف إلى يوم الدين لأنه لا يدعي أحد هناك كل شيء، ولا يتكلم أحد إلا بإذنه كما قال تعالى لا يتكلمون إلاّ من أذن له الرحمن وقال صوابا، وقال تعالى: يوم يأتي لا تكَلَّمُ نفسٌ إلا بإذنه، وعن ابن عباس قال: يوم الدين يوم الحساب للخلائق، يدينهم بأعمالهم إن خيرا فخير، وإن شرا فشر، إلا من عفا عنه. والملْكُ في الحقيقة هو اللّه عز وجل، فأما تسمية غيره في الدنيا بملك فعلى سبيل المجاز، وفي الصحيحين عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم أنه قال: يقبض اللّه الأرض ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك أين ملوك الأرض؟ أين الجبارون؟ أين المتكبرون ""رواه الشيخان عن أبي هريرة مرفوعا"" والدين : الجزاء والحساب كما قال تعالى إئنا لمدينون أي مجزيون محاسبون، وفي الحديث: (الكيّسُ من دان نفسه وعمل لما بعد الموت) ""رواه أحمد والترمذي وابن ماجة من حديث شداد بن أوس مرفوعا""أي حاسب نفسه، وعن عمر رضي اللّه عنه: (حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا).
إِيّاكَ نَعبُدُ وَإِيّاكَ نَستَعينُ ﴿٥﴾ (5) Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
العبادةُ في اللغة: مأخوذة من الذلة، يقال: طريقٌ معبّد، وبعيرٌ معبَّد أي مذلّل. وفي الشرع: هي ما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف، وقدّم المفعول وكرّر للاهتمام والحصر، أي لا نعبد إلا إياك ولا نتوكل إلا عليك، وهذا هو كمال الطاعة، والدين يرجع كله إلى هذين المعنيين، فالأول تبرؤ من الشرك والثاني تبرؤٌ من الحول والقوة والتفويض إلى اللّه عزّ وجلّ، وهذا المعنى في غير آيةٍ من القرآن: فاعبده وتوكل عليه، قل هو الرحمن آمنا به وعليه توكلنا وتحول الكلام من الغيبة إلى المواجهة، لأنه لما أثنى على اللّه فكأنه اقترب وحضرر بين يدي اللّه تعالى فلهذا قال: إياك نعبد وإياك نستعين بكاف الخطاب، وفي هذا دليلٌ على أن أول السورة خبرٌ من الله تعالى بالثناء على نفسه بجميل صفاته الحسنى، وإرشادٌ لعباده بأن يثنوا عليه بذلك. وإنما قدّم إياك نعبد على وإياك نستعين لإن العبادة له هي المقصودة، والاستعانة وسيلة إليها، والأصل أن يقدم ما هو الأهم فالأهم، فإن قيل: فما معنى النون في نعبد و نستعين فإن كانت للجمع فالداعي واحد، وإن كانت للتعظيم فلا يناسب هذا المقام؟ وقد أجيب: بأن المراد من بذلك الإخبار عن جنس العباد، والمصلي فردٌ منهم ولا يسمى إن كان في جماعة أو إمامهم، فأخبر عن نفسه وعن إخوانه المؤمنين بالعبادة التي خُلقوا لأجلها وتوسَّط لهم بخير، وإياك نبعد ألطفُ في التواضع من إياك عبدنا لما في الثاني من تعظيم نفسه من جعل نفسه وحده أهلا لعبادة اللّه تعالى الذي لا يستطيع أحد أن يعبده حق عبادته، ولا يثني عليه كما يليق به، والعبادة مقام عظيم يَشْرُف به العبد لانتسابه إلى جناب اللّه تعالى كما قال بعضهم: لا تدعني إلا بيا عبده ** فإنه أشرف أسمائي وقد سمّى رسوله صلى اللّه عليه وسلم بعبده في أشرف مقاماته فقال: الحمد لله الذي أنزل على عبده الكتاب وقال: وأنه لما قام عبداللّه يدعوه، وقال: سبحان الذي أسرى بعبده ليلا فسماه عبدا عند إنزاله عليه، وعند قيامه للدعوة، وإسرائه به.
اهدِنَا الصِّرٰطَ المُستَقيمَ ﴿٦﴾ (6) Tunjukilah kami jalan yang lurus,
لما تقدم الثناء على المسئول تبارك وتعالى ناسب أن يعقب بالسؤال، وهذا أكمل أحوال السائل أن يمدح مسئوله ثم يسأل حاجته، لأنه أنجح للحاجة، وأنجع للإجابة ولهذا أرشد اللّه إليه لأنه الأكمل. والهداية ههنا: الإرشاد والتوفيق وقد تُعدَّى بنفسها اهدنا الصراط وقد تعدى بإلى فاهدوهم إلى صراط الجحيم وقد تُعدى باللام الحمد للّه الذي هدانا لهذا أي وفقنا وجعلنا له أهلا، وأمّا الصراط المستقيم فهو في لغة العرب: الطريق الواضح الذي لا اعوجاج فيه، ثم تستعير العرب الصراط في كل قول وعمل وصف باستقامة أو اعوجاج، واختلفت عبارات المفسرين من السلف الخلف في تفسير الصراط، وإن كان يرجع حاصلها إلى شيء واحد وهو المتابعة للّه وللرسول فروي أنه كتاب اللّه، وقيل: إنه الإسلام، قال ابن عباس: هو دين اللّه الذي لا اعوجاج فيه، وقال ابن الحنفية: هو دين اللّه الذي لا يقبل من العباد غيره، وقد فسّر الصراط بالإسلام في حديث ""النواس بن سمعان""عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم أنه قال: (ضرب اللّه مثلا صراطا مستقيما، وعلى جنبتي الصراط سوران فيهما أبوابٌ مفتَّحة، وعلى الأبواب ستور مرخاة، وعلى باب الصراط داعٍ يقول: يا أيها الناس ادخلوا الصراط جميعا ولا تعوجوا، وداعٍ يدعو من فوق الصراط، فإذا أراد الإنسان أن يفتح شيئا من تلك الأبواب قال: ويْحك لا تفتحه، فإنك إن تفتحه تلجْه، فالصراط الإسلام، والسوران حدود اللّه، والأبواب المفتحة محارم اللّه وذلك الداعي على رأس الصراط كتاب اللّه، والداعي من فوق الصراط واعظ اللّه في قلب كل مسلم ""رواه أحمد في مسنده عن النواس بن سمعان وأخرجه الترمذي والنسائي""وقال مجاهد: الصراط المستقيم: الحق، وهذا أشمل ولا منافاة بينه وبين ما تقدم، قال ابن جرير رحمه اللّه والذي هو أولى بتأويل هذه الآية عندي أن يكون معنيا به وفقنا للثبات على ما ارتضيته ووفقت له من أنعمت عليه من عبادك من قول وعمل، وذلك هو الصراط المستقيم لأن من وُفِّق لما وفِّق له من أنعم عليهم من النبيّين والصدّيقين والشهداء والصالحين فد وفّق للإسلام. فإن قيل : فكيف يسأل المؤمن الهداية في كل وقت من صلاة وهو متصف بذلك؟ فالجواب: أن العبد مفتقر في كل ساعةٍ وحالة إلى اللّه تعالى في تثبيته على الهداية ورسوخه فيها واستمراره عليها، فأرشده تعالى إلى أن يسأله في كل وقت أن يمده بالمعونة والثبات والتوفيق، فقد أمر تعالى الذين آمنوا بالإيمان: يا أيها الذين آمنوا آمِنوا بالله ورسوله، والمراد الثباتُ والمداومةُ على الأعمال المعينة على ذلك والله أعلم.
صِرٰطَ الَّذينَ أَنعَمتَ عَلَيهِم غَيرِ المَغضوبِ عَلَيهِم وَلَا الضّالّينَ ﴿٧﴾ (7) (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
قوله تعالى صراط الذين أنعمت عليهم مفسّر للصراط المستقيم، والذين أنعم اللّه عليهم هم المذكورون في سورة النساء: ومن يطع اللّه والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين، وحسن أولئك رفيقا، وعن ابن عباس: صراط الذين أنعمتَ عليهم بطاعتك وعبادتك من ملائكتك وأنبيائك والصدّيقين والشهداء والصالحين، وذلك نظير الآية السابقة، وقال الربيع بن أنَس: هم النبيّون، وقال ابن جريج ومجاهد: هم المؤمنون، والتفسير المتقدم عن ابن عباس أعم وأشمل. وقوله تعالى غير المغضوب عليهم ولا الضالين بالجر على النعت، والمعنى: اهدنا الصراط المستقيم، صراط الذين أنعمت عليهم ممن تقدم وصفهم ونعتهم، وهم أهل الهداية والاستقامة، غير صراط المغضوب عليهم وهم الذين علموا الحق وعدلوا عنه، ولا صراط الضالين وهم الذين فقدوا العلم، فهم هائمون في الضلالة لا يهتدون إلى الحق، وأكد الكلام بـ لا ليدل على أن ثَمَّ مسلكين فاسدين وهما: طريقة اليهود، وطريقة النصارى، فجيء بـ لا لتأكيد النفي وللفرق بين الطريقتين ليجتنب كل واحدٍ منهما، فإن طريقة أهل الإيمان مشتملة على العلم بالحق والعمل به، واليهودُ فقدوا العمل، والنصارى فقدوا العلم، ولهذا كان الغضب لليهود، والضلال للنصارى، لكنْ أخصُّ أوصاف اليهود الغضب كما قال تعالى عنهم: من لعنه الله وغضب عليه وأخص أوصاف النصارى الضلال كما قال تعالى عنهم: قد ضلوا من قبل وأضلوا كثيرا وأضلوا عن سواء السبيل وبهذا وردت الأحاديث والآثار، فقد روي عن عدي بن حاتم أنه قال: سألت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم عن قوله تعالى: غير المغضوب عليهم قال: هم اليهود ولا الضالين قال: النصارى ) ""رواه أحمد والترمذي من طرق وله ألفاظ كثيرة""ويستحب لمن يقرأ الفاتحة أن يقول بعدها: آمين ومعناه: اللهم استجب، لما روي عن أبي هريرة أنه قال: (كان رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا تلا غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال: آمين حتى يسمع من يليه من الصف الأول) ""رواه أبو داود وابن ماجة وزاد فيه ""فيرتج بها المسجد"" فصل فيما اشتملت هذه السورة الكريمة - وهي سبع آيات - على حمد اللّه وتمجيده والثناء عليه بذكر أسمائه الحسنى المستلزمة لصفاته العليا، وعلى ذكر المعاد وهو يوم الدين وعلى إرشاده عبيده إلى سؤاله، والتضرع إليه، والتبرؤ من حولهم وقوّتهم، إلى إخلاص العبادة له وتوحيده بالألوهية تبارك وتعالى، وتنزيهه أن يكون له شريك أو نظير أو مماثل، وإلى سؤالهم إياه الهداية إلى الصراط المستقيم وهو الدين القويم وتثبيتهم عليه حتى يقضي لهم بذلك إلى جواز الصراط يوم القيامة، المفضي بهم إلى جنّات النَّعيم، في جوار النبيين والصدّيقين والشهداء والصالحين. واشتملت على الترغيب في الأعمال الصالحة ليكونوامع أهلها يوم القيامة، والتحذير من مسالك الباطل لئلا يحشروا مع سالكيها يوم القيامة وهم المغضوب عليهم والضّالّون. وما أحسن ما جاء إسناد الإنعام إليه في قوله: أنعمت عليهم وحذف الفاعل في الغضب في قوله: غير المغضوب عليهم وإن كان هو الفاعل لذلك في الحقيقة، وكذلك إسناد الضلال إلى من قام به وإن كان هو الذي أضلهم بقدره كما قال تعالى: من يضلل الله فلا هادي له إلى غير ذلك من الآيات الدالة على أنه سبحانه هو المنفرد بالهداية والإضلال. لا كما تقول القدرية من أن العباد هم الذين يختارون ذلك ويفعلون، ويحتجون على بدعتهم بمتشابه من القرآن ويتركون ما يكون فيه صريحا في الرد عليهم وهذا حال أهل الضلال والغي. وقد ورد في الحديث الصحيح: (إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم ) فليس - بحمد اللّه - لمبتدع في القرآن حجةٌ صحيحة لأن القرآن جاء ليفصل الحق من الباطل، مفرقا بين الهدى والضلال، وليس فيه تناقضٌ ولا اختلاف، لأنه من عند اللّه: تنزيل من حكيم حميد.

Mengenal Jalan Hidup Golongan yang Selamat

Para pembaca semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Judul di atas sangat terkait dengan apa yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang akan terjadi perselisihan yang banyak setelah meninggalnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam sabdanya:

“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, red) dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka).” (HR. Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam An-Naar (Neraka) dan satu golongan di dalam Al-Jannah (Surga), yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar menggolongkannya sebagai hadits hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5219)

Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa golongan yang selamat itu hanya satu yaitu golongan yang berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah khulafaur rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Bahkan disebutkan dalam riwayat yang lain, yaitu golongan yang meniti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Adapun apa yang sering didengungkan bahwa perselisihan umat itu adalah rahmat berdasarkan sebuah hadits:

ﭐخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perselisihan umatku adalah rahmat.”

Hadits tersebut setelah diteliti oleh para ulama ternyata tidak didapati dari mana sumbernya. Bukan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan pula perkataan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran, karena tergolong hadits dha’if (lemah) bahkan mungkar.

Dari sisi kandungan, hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu dan melarang dari berpecah-belah.

Para pembaca rahimakumullah, bagaimanakah ciri-ciri dan jalan hidup yang ditempuh oleh golongan yang selamat itu? Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti pemaparan tentang manhaj (jalan hidup) yang ditempuh oleh satu-satunya golongan yang selamat tersebut, sehingga kita bisa meniti jejak mereka.

MANHAJ (JALAN HIDUP) GOLONGAN YANG SELAMAT

Yaitu yang terkandung Al-Qur’anul Karim yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau jelaskan kepada para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam hadits-hadits yang shahih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh dengan keduanya:

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) dengan keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’)

“Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya/tuntunannya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya.” (An-Nisaa’: 59)

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, red) sebagai hakim (penentu keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Aku mengira mereka akan binasa. Aku sampaikan (kepada mereka) sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang mereka menimpalinya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad dan Ibnu ‘Abdil Barr)

Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terkadang ia terjatuh kepada kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad)

Imam Malik berkata, “Tak seorang pun sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan ucapannya diambil atau ditinggalkan (ditolak), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang ucapannya selalu diambil dan diterima).”

Mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdo’a dan memohon pertolongan baik pada masa sulit maupun lapang, menyembelih kurban, ber-nadzar, tawakkal, berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan berbagai bentuk ibadah lain yang semuanya menjadi dasar bagi tegaknya Daulah Islamiyah yang benar. Menjauhi dan membasmi berbagai bentuk kesyirikan dengan segala bentuknya yang banyak ditemui di negara-negara Islam, sebab hal itu merupakan konsekuensi tauhid. Dan sungguh, suatu golongan tidak mungkin mencapai kemenangan jika ia meremehkan masalah tauhid, tidak membendung dan memerangi syirik dengan segala bentuknya. Hal-hal di atas merupakan teladan dari para rasul dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaumnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad-Dani dengan sanad yang shahih.“)

Golongan Yang Selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum-hukum Islam) dari Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih, dan pendapat-pendapat para imam mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. Hal ini sesuai dengan wasiat mereka, yang menganjurkan agar para pengikutnya mengambil hadits shahih, dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengannya.

Mereka mengingkari cara-cara bid’ah dalam hal agama yang jauh dari sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan mengingkari sekte-sekte sesat yang memecah belah umat.

Sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk Al-Jannah (Surga) dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala dan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Golongan Yang Selamat mengajak manusia berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukumNya abadi sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman.

Umat Islam tidak akan jaya dan mulia kecuali dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya, baik secara pribadi, kelompok maupun secara pemerintahan. Sebagai realisasi dari firmanNya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)

Berjihad di jalan Allah wajib bagi setiap muslim sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya. Jihad dapat dilakukan dengan:

Pertama, jihad dengan lisan dan tulisan: Mengajak umat Islam dan umat lainnya agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal yang akan menimpa umat Islam ini. Beliau bersabda:

“Tidaklah terjadi Hari Kiamat hingga kelompok-kelompok dari umatku mengikuti orang-orang musyrik, dan kelompok-kelompok dari umatku menyembah berhala-berhala.” (Hadits shahih, riwayat Abu Dawud, hadits yang semakna ada dalam riwayat Muslim)

Kedua, jihad dengan harta: Menginfakkan harta untuk penyebaran dan peluasan ajaran Islam, mencetak buku-buku dakwah ke jalan yang benar, memberikan santunan kepada umat Islam yang masih lemah imannya agar tetap memeluk agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang, memberikan bekal kepada para mujahidin, baik berupa makanan, pakaian, atau keperluan lain yang dibutuhkan.

Ketiga, jihad dengan jiwa: Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah (Laa ilaaha illallah) tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina.

Dalam hubungannya dengan ketiga perincian jihad di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:

“Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu.” (HR. Abu Dawud, hadits shahih)

Tentunya, jihad dengan jiwa ini haruslah di bawah komando pemerintah. Tidak bisa dilakukan secara individu atau kelompok tertentu.

Demikianlah di antara jalan hidup golongan yang selamat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita termasuk dari mereka, dengan suatu harapan mendapatkan keselamatan dari Allah, baik dalam kehidupan dunia, maupun kehidupan akhirat kelak. Amin.

Sumber:

http://www.buletin-alilmu.com/mengenal-jalan-hidup-golongan-yang-selamat-manhaj-al-firqah-an-najiyah

Fitnah Dunia dan Wanita

Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan


Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)

الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)

Fitnah (godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Godaan dunia dan harta
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=932