Welcome

Rasulullah bersabda; "Apabila kalian menginginkan kasih sayang dari Allah dan Rasul Nya maka sampaikanlah amanat, jujurlah dalam berbicara, dan berbuat baiklah kepada orang yang menjadi tetangga kalian." (HR. Tabrani)
Tampilkan postingan dengan label Salafy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Salafy. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Oktober 2011

NIAT






Umar bin al-Khattab tmemberitakan bahwa ia pernah mendengar Nabi r bersabda,
(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) [رواه البخاري ومسلم]
"Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niat, dan bagi setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang diniatkannya." (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
Imam al-Bukhari mengawali hadits-hadits dalam kitab beliau "ash-Shahih al-Jami' " (yang lebih dikenal dengan Shahih al-Bukhari) dengan hadits ini menempati kedudukan sebagai khutbah pembuka, sekaligus memberi isyarat bahwa semua amal yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah atau tidak ikhlas karena Allah maka amal tersebut batil dan tidak akan membuahkan hasil apa-apa di dunia maupun di akhirat.
Abdurrahman bin Mahdi menerangkan, "Kalau aku mau menyusun bab-bab (sebuah kitab), niscaya aku jadikan hadits Umar t tentang –bahwa- (amal-amal itu bergantung pada niat) ini dalam setiap bab." Di lain waktu beliau menyampaikan, "Barangsiapa ingin menyusun sebuah kitab, maka hendaklah memulainya dengan hadits ( اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ) ini."
Imam as-Syafi'i berkata, "Hadits ini adalah sepertiga ilmu, dan dapat memasuki 70 bab masalah fikih."
Imam Ahmad menuturkan, "Dasar-dasar Islam terdapat pada tiga hadits: (lalu beliau menyebutkan yang pertama yaitu) hadits Umar t ( اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ) ..."
Masih banyak lagi perkataan ulama terkait kedudukan hadits di atas yang begitu agung ini. Hingga banyak dari mereka yang menyusun kitab yang membahas seputar kandungan hadits ini.

Apa Niat Itu?
Menurut bahasa niat berarti keinginan dan maksud (hati). Al-Baidhawi berkata, "Niat adalah ungkapan tentang tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan keinginan baik dalam rangka mendapat manfaat atau menghindari mudharat."[1]

Selasa, 16 Agustus 2011

HINDARILAH SYIRIK …...BERTAUHIDLAH!


(Sebuah pelajaran dari Al Qur’an surat Yusuf)

Oleh
Abdul Azhim Al Badawi


Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, semoga Allah senantiasa mengajarkan kepada kita sesuatu yang bermanfaat dalam firman Allah yang bercerita tentang Nabi Yusuf Alaihissallam.

إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لاَّيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَهُم بِاْلأَخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ ءَابَآءِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَاكَانَ لَنَآ أَن نُّشْرِكَ بِاللهِ مِن شَىْءٍ

Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku mengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak, Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.. [Yusuf:37-38].

Terdapat satu isyarat, bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan Nabi Yusuf itu sama. Yaitu agama tauhid, yang dibawa oleh semua para nabi alaihimus shalatu wassalam, sebagamana firman Allah.

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku. [Al Anbiya’:92].

Kepada agama inilah, Yusuf menyeru kepada kedua temannya (yang di penjara).

يَاصَاحِبَيِ السِّجْنِ ءَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ مَاتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِه إِلآ أَسْمَآءً سَمَّيْتُمُوهَآ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّآأَنزَلَ اللهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ أَمَرَ أَلاَّتَعْبُدُوا إِلآًّإِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Yusuf:39-40].

Demikian juga semua para nabi, mereka berdakwah kepada agama ini, sebagaimana Allah berfirman.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu," [An Nahl:36].

Dan firmanNya.

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al Anbiya’:25].

Karenanya, seruan yang diucapkan oleh para nabi kepada kaumnya selalu sama, yaitu:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ

Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya. [Al A’raf:59].

Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga mengajak kepada agama (tauhid) ini. Ketika orang-orang kafir Quraisy mengatakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ

Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan. [Shad:7].

Allah Azza wa Jalla berfirman kepada NabiNya.

قُلْ مَاكُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ

Katakanlah:"Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” [Al Ahqaf:9]

Maksudnya, saya bukanlah yang pertama, namun saya ini adalah seorang pengikut.

Allah juga berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):"Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif." Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb. [An Nahl:123].

Perkataan Nabi Yusuf Alaihissallam إِنِّي تَرَكْتُ (Aku tinggalkan), sejalan dengan firman Allah فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ (Maka barangsiapa yang ingkar kepada thagut). Sedangkan perkataan Nabi Yusuf وَاتَّبَعْتُ (Aku ikuti) sejalan dengan firman Allah وَيُؤْمِن بِاللهِ (dan beriman kepada Allah). Jadi, keimanan itu mesti didahului pengingkaran. Keimanan kepada Allah mesti didahului dengan pengingkaran terhadap semua (yang dipertuhankan oleh manusia, pent) selain Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, kalimat tauhid mengandung dua makna ini. Ucapan “Lailaha” adalah pengingkaran terhadap semua yang dipertuhan. Dan ucapan “Illallah” adalah keimanan kepada Allah sebagai Ilah (yang berhak disembah).

Hidayah kepada tauhid merupakan karunia Allah yang hanya diberikan kepada hambaNya yang dikehendaki. Sebagaimana perkataan Nabi Yusuf Alaihissallam.

ذَلِكَ مِن فَضْلِ اللهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَشْكُرُونَ

Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri(Nya). [Yusuf:38].

Sebagai peringatan atas karunia ini dan agar jangan sampai hilang -kami katakan- demi memotivasi kepada tauhid dan menjauhi syirk,“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kesesatan yang nyata dan kezhaliman yang besar.

Allah berfirman.

وَمَنْ أَضلَُّ مِمَّن يَدْعُوا مِن دُونِ اللهِ مَن لاَّيَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَآئِهِمْ غَافِلُونَ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka. [Al Ahqaf:5].

Dan firmanNya.

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim. [Al Baqarah:254].

Dan firmanNya.

وَإِذْقَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu memberi pelajaran kepadanya,"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar. " [Luqman:13].

FirmanNya,

وَلاَ تَدْعُوا مِن دُونِ اللهِ مَالاَيَنفَعُكَ وَلاَيَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. [Yunus:106].

FirmanNya.

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [An Nisa’:48].

Dan.

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا

Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. [An Nisa’:116].

Syirik termasuk penyebab terhapusnya (nilai) amal perbuatan. Firman Allah.

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya amalmu akan terhapus dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az Zumar:65].

Dalam surat Al An’am -setelah menyebutkan (kisah) beberapa nabi- Allah berfirman.

ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِى بِهِ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Allah kehendaki di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [Al An’am:88].

Syirik menjadi penyebab kehinaan dan kerendahan. Allah berfirman.

لاَّتَجْعَلْ مَعَ اللهِ إِلاَهًا ءَاخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُومًا مَخْذُولاً

Janganlah kamu adakan ilah-ilah yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (oleh Allah). [Al Isra’:22].

Dan firmanNya.

ذَلِكَ مِمَّآ أَوْحَى إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ وَلاَ تَجْعَلْ مَعَ اللهِ إِلاَهًا ءَاخَرَ فَتُلْقَى فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَّدْحُورًا

Dan janganlah kamu mengadakan ilah yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah). [Al Isra’:39].

Syirik bisa menyebabkan pelakunya masuk neraka dan menghalanginya dari mendapat magfirah (ampunan) dan keridhaan Allah. Allah berfirman.

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَالِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun. [Al Maidah:72].

Syirik termasuk perbuatan haram yang sangat mendasar, sebagaimana firman Allah.

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Katakanlah:"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia. [Al An’am:151].

Dan firmanNya.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَ الْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah:"Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui." [Al A’raf:33].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ

Hindarilah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya,“Apakah (tujuh perkara) itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Syirk (menyekutukan) Allah, …” kemudian beliau melanjutkannya dan menyebutkan ketujuh hal tersebut [1]

Dalam penyebutan kata “syirik” diurutan terdepan terdapat isyarat, bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya.

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ

Maukah kalian kuberitahu tentang dosa yang paling besar? Mereka menjawab,“Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,“Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau bersabda sambil bersandar, lalu duduk dan bersabda (lagi),”Dan ingatlah berkata dusta (termasuk dosa besar-pent).” Beliau mengulang-ulang ucapan itu, sampai kami berkata,”Semoga beliau diam.”

Juga dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata.

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Beliau menjawab,”Engkau menyekutukan Allah, padahal Dia telah menciptakanmu.”

Waspadalah dengan syirik, yang kecil maupun yang besar! Syirik itu (kadang) tidak lebih nampak dibandingkan dengan semut di atas batu hitam. Dan tidak ada yang merasa dirinya aman dari kesyirikan, kecuali orang-orang yang tidak mengetahui hakikat syirik dan tidak tahu pula apa yang menyebabkannya terbebas dari syirik. Adapun orang yang mengerti hakikat dan bahaya syirik, ia akan menjadi orang yang paling takut terhadap syirik. Nabi Ibrahim Alaihissallam berkata.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَ اجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata,"Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” [Ibrahim:35].

Kemudian beliau menjelaskan penyebab dari rasa takutnya,

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ

Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. [Ibrahim:36].

Jika seseorang sudah mengetahui, bahwa banyak orang yang terjerembab ke dalam syirik akbar dan mereka sesat dengan menyembah berhala, maka ia akan takut terjerembab seperti mereka.

Ibrahim At Taimi berkata,“Siapakah yang merasa aman dari bala’ (syirik) setelah Nabi Ibrahim?” Maksudnya, jika Nabi Ibrahim Alaihissallam sang kekasih Allah saja masih khawatir terjatuh ke dalam kesyirikan, masih adakah orang yang tidak khawatir atas dirinya terjatuh ke dalam kesyirikan setelah Nabi Ibrahim?

Syirik merupakan kezhaliman yang paling zhalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil. Karena jika adil (diartikan dengan, pent.) meletakkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya tanpa mengurangi sedikitpun, maka tauhid merupakan keadilan yang paling adil, karena tauhid merupakan hak Allah atas hambaNya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Saya (Mu’adz bin Jabal) membonceng Nabi di atas keledai. Beliau berkata kepadaku,“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak hamba kepada Allah?” Saya jawab,“Allah dan RasulNya yang lebih tahu.” Beliau bersabda,“Hak Allah atas hambaNya adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya. Sedangkan hak hamba atas Allah adalah tidak menyiksa orang yang tidak berbuat syirik.”

Jika tauhid merupakan hak, maka apabila hamba-hambaNya telah mentauhidkanNya (menyerahkan kepada Allah yang menjadi hakNya, pent.) berarti mereka telah berlaku adil dengan seadil-adilnya. Jika mereka berbuat syirik, maka mereka telah berbuat zhalim. Karenanya, tauhid merupakan kewajiban yang paling wajib. Allah berfirman.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia [Al Isra’:23].

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun [An Nisa’:36].

Tauhid memiliki banyak keutamaan, diantaranya:

- Menyebabkan aman dari siksa pada hari kiamat. Allah berfirman.

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. [Al An’am:82].

Dan firmanNya.

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ لاَ يَسْمَعُونَ حَسِيسَهَا وَهُمْ فِي مَاشْتَهَتْ أَنفُسُهُمْ خَالِدُونَ لاَ يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ اْلأَكْبَرُ وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka, mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan mereka kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata):"Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.. [Al Anbiya’:101-103].

- Tauhid merupakan kunci masuk surga, sebagaimana perkataan Wahab bin Munabbih, “Kunci syurga itu adalah lailaha illallah.”

- Dengan tauhid, Allah berkenan menghapus kesalahan-kesalahan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits qudsi.

إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ

Sesungguhnya Allah akan menyelamatkan seorang manusia ………. Lalu Allah membentangkan 99 catatan amal di hadapan orang itu. Satu catatan (ukuran) sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman,”Adakah diantara catatan-catatan ini yang engkau ingkari? Apakah penulis-penulisku telah menzhalimimu?” Orang itu menjawab,”‘Tidak wahai Rabb!” Allah berfirman,”Apakah engkau mempunyai alasan?” Orang itu menjawab,”Tidak wahai Rabb!” Allah berfirman,”Tentu. Sesungguhnya dalam catatan kami, engkau punya kebaikan. Dan sesungguhnya hari ini engkau tidak akan dizhalimi!” Lalu keluarlah sebuah kartu, tertulis padanya:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Lalu Allah berfirman,”Datangkanlah timbanganmu!” Orang itu menjawab,”Wahai Rabbku, apalah artinya satu kartu ini dengan catatan-catatan amal (kejelekan) ini.” Allah berfirman,”Sesungguhnya, engkau tidak akan dizhalimi.” Kemudian catatan-catatan itu ditaruh pada salah satu sisi timbangan dan kartu di sisi yang lain. Kemudian catatan-catatan amal itu menjadi ringan dan kartu itu menjadi berat, tidak ada sesuatupun yang lebih berat dari nama Allah. [2]

Para ulama’ telah membagi tauhid menjadi tiga.

Pertama. Tauhid Rububiyah.
Yaitu mengakui secara zhahir bathin, bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu, Pemilik, Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Yang mengurusi alam semesta ini semuanya, baik yang atas maupun yang bawah.

Kedua. Tauhid Uluhiyah.
Yaitu mengesakan Allah dengan ibadah tanpa memalingkan bagian terkecil dari ibadah kepada selain Allah k . Inilah makna kalimat tauhid lailaha illallah, tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah. Karena Dialah Sang Pencipta, sedangkan selain Dia adalah makhluq dan hanya Allah yang bisa mengabulkan permohonan orang yang sengsara dan yang bisa menghilangkan kesengsaraan. Allah berfirman,

وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لاَيَسْتَجِيبُونَ لَهُم بِشَىْءٍ إِلاَّ كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَآءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَاهُوَ بِبَالِغِهِ

Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. [Ar Ra’d:14].

Untuk tujuan tauhid inilah, Allah menciptakan makhluk, mengirimkan para rasul dan menurunkan kitab-kitabNya. Allah berfirman.

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu. [Adz Dzariyat:56].

FirmanNya.

أَتَى أَمْرُ اللهِ فَلاَ تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ يُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاتَّقُونِ

Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya, yaitu:"Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertaqwa kepadaKu." [An Nahl:2].

Tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang musyrik pada zaman dahulu, padahal mereka sudah mengakui tauhid Rububiyah. Allah berfirman.

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ

Katakanlah:"Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka menjawab,"Allah." [Yunus:31].

Dan firmanNya.

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ

Dan mereka berkata,"Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?" [Ash Shaffat:36].

Maka seorang muslim harus mengetahui, bahwasanya mengakui Allah sebagai Pencipta, Pemberi Rizqi, Yang Bisa Menghidupkan dan Mematikan, tidak akan berarti apapun sampai dia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, lalu melaksanakan yang menjadi konsekwensinya.

Ketiga. Tauhid Asma’ dan Sifat.
Maksudnya, ialah menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diriNya dalam kitabNya, dalam hadits Rasulullah yang shahih tanpa tasybih (menyerupakan), tahrif (menyelewengkan maknanya), tamtsil (memisalkan), ta’thil (menolak) dan tanpa takyiif.

Berpegang pada firmanNya.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada yang semisalnya denganNya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Asy Syura:11].

Sifat-sifat Allah yang ada dalam Al Qur’an terbagi menjadi dua. Yaitu sifat dzat dan sifat fi’il. Sifat dzat, misalnya: jiwa, hidup, mengetahui, dapat mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, wajah, tangan, betis dan lain-lain. Sifat fi’il, seperti: bersemayam, turun, datang, ridha, marah, tertawa, senang dan lain-lain.

Kewajiban kita atas sifat-sifat ini, ialah mengimaninya, menetapkannya untuk Allah tanpa tasybih, ta’thil, tamtsil dan takyif. Diantara kita, janganlah ada yang mengatakan jiwa Allah seperti jiwa manusia dan lain sebagainya. Kita mestinya mengikuti sebagaimana perkataan Imam As Syafi’i rahimahullah,“Aku beriman kepada Allah dan kepada semua yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Dan aku juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kepada semua yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah.”

Selanjutnya ketahuilah wahai saudara-saudaraku, semoga Allah merahmati kita. Bahwa tauhid merupakan jalan tertinggi yang ditempuh manusia menuju Allah. Tauhid merupakan dakwah pertama para rasul. Mereka memulai dakwah dengan (menyampaikan) tauhid, sebelum (perkara) halal dan haram. Rasulullah n tinggal di Mekkah selama 10 tahun atau lebih, senantiasa menyampaikan, “Wahai manusia, katakanlah laailaha illallah, kalian pasti akan beruntung.”

Ketika tauhid sudah tertanam di hati mereka, barulah kemudian turun ayat-ayat fardhu, diawali dengan shalat. Tidak bertambah sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.

Kemudian perintah dan larangan berdatangan. Rasul tidak perlu bekerja keras untuk mengarahkan mereka agar mentaatinya, karena beliau sudah bekerja keras di Mekkah sehingga punahlah ikatan kesyirikan. Ketika ikatan syirik sudah punah, maka ikatan-ikatan yang lainpun punah. Kaum mukmin menjadi seperti yang diterangkan Allah.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَّقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". [An Nur:51]

Karena pentingnya tauhid, maka ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan-utusannya dan para da’i ke suatu kaum, beliau memerintahkan mereka agar memulai dakwahnya dengan tauhid, sebagaimana sabda beliau kepada Muadz bin Jabbal ketika di utus ke Yaman,

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكنْ أَوَّلُ مَا تَدْعوُهُمْ إِلَيهِ شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Sesungguhnya engkau akan mendatangi orang-orang ahli kitab, maka hendaklah perkara pertama yang engkau dakwahkan ialah syahadat lailaha illallah (agar mereka bersaksi, bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, pent.) dan sesungguhnya saya adalah Rasulullah. Jika mereka sudah mentaati kamu untuk itu, maka beritahukanlah mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat sehari semalam. Jika mereka sudah taat, maka beritahulah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada orang-orang kaya lalu diberikan kepada orang yang fakir. Jika mereka taat, maka hindarilah harta-harta berharga mereka dan takutlah terhadap do’a orang-orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya antara do’a itu dengan Allah tidak ada hijab. [3]

Maka wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan aqidah ini, baik sebagai pelajaran ataupun pengajaran. Dan wajib juga bagi setiap da’i dan guru untuk mendahulukan aqidah di atas segala sesuatu, serta menjadikan aqidah sebagai skala prioritas. Karena baiknya amal disebabkan aqidah yang baik dan buruknya amal akibat dari buruknya aqidah.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن قَرَارٍ

Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. [Ibrahim:24-26].

Akhirnya, semoga Allah memberikan kita dan semua kaum muslimin aqidah yang baik dan selamat. Sesungguhnya hanya Allah yang mampu melakukan hal itu.

(Diterjemahkan dari Majalah Al Ashalah Edisi 11/Tahun ke-2, halaman 17-24)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Hadits-hadits yang ada dalam pembahasan terdapat dalam Bukhari-Muslim atau salah-satunya
[2]. Hadits shahih, terkenal di kalangan ahlu ilmi dengan haditsul bithaqah. Lihat Silsilah Al Alhadits Ash Shahihah, karya Syaikh Al Albani rahimahullah no. 135.
[3]. Riwayat Bukhari-Muslim

 http://almanhaj.or.id/content/2999/slash/0

Selasa, 21 Juni 2011

Jadwal Shalat Subuh Dipermasalahkan

Oleh
Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah


MUQODDIMAH
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Apabila shalat dilakukan sebelum waktunya atau sesudah waktunya berlalu maka tidak sah. Allah Subha ahu wa Ta’ala berfirman.

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [an-Nisa 4 : 103]

Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1]. Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu shalat yang lain.

Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di negara-negara Islam.

Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]

AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.

Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.

Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]

WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الفجر فجران فجر يحرم فية الطعام وتحل فية الصلأة وفجر تحرم فية الصلأة ويحل فية الطعام

“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]

PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].

AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.

Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.

Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]

DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Ibnu Faris rahimahullah berkata الفجر (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).

Ibnu Mandur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala من الفجر sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]

Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]

Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الخيط الأبيض adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]

Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat من الفجر ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)” [Tafsir Abul Su’ud : 1/318]

Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

فكاوا وا ثربواحتى يعتزصى لكم الأحمز

“Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].

Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).

Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]

Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]

Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.

Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh dimulai)”.

Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.

“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) من الفجر yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan من الفجر yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]

Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan, maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum” [12]

Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]

TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.

Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih dominan.

Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna, sebagaimana dalam haditsnya.

ثم صــلى الفجر حين برق الفجر

“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi 1/149]

KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.

Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.

Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]

AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah pemakaian jam ini pada abad 15M

Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan sangat tepat, bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]

Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan ibadah mereka. [17]

Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya, bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18]. Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari dahulu hingga sekarang.

HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]

Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.

1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.

2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.

3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]

FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :

“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.

Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.

Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.

Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.

Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin”.

Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang” [22]

FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”. Beliau berkata :

“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya” [23]

TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]

AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الد ين النصيحة قلنا لمن؟ قا ل للة ولكتا بة ولرسولة ولأئمة المسلمين وعا متهم

“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]

Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.

Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]

KESIMPULAN
1). Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.
2). Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.
3). Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar yersebut.
4). Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
5). Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_________
Footnotes
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hamper di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh hlm.7)
[5]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya : “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya menngatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13 

http://almanhaj.or.id/content/2562/slash/0

Sabtu, 18 Juni 2011

Mengenal Jalan Hidup Golongan yang Selamat

Para pembaca semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Judul di atas sangat terkait dengan apa yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang akan terjadi perselisihan yang banyak setelah meninggalnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam sabdanya:

“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, red) dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka).” (HR. Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam An-Naar (Neraka) dan satu golongan di dalam Al-Jannah (Surga), yaitu Al-Jama’ah.” (HR. Ahmad dan yang lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar menggolongkannya sebagai hadits hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya.” (HR. At-Tirmidzi, dan di-hasan-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5219)

Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa golongan yang selamat itu hanya satu yaitu golongan yang berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah khulafaur rasyidin radhiyallahu ‘anhum. Bahkan disebutkan dalam riwayat yang lain, yaitu golongan yang meniti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Adapun apa yang sering didengungkan bahwa perselisihan umat itu adalah rahmat berdasarkan sebuah hadits:

ﭐخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perselisihan umatku adalah rahmat.”

Hadits tersebut setelah diteliti oleh para ulama ternyata tidak didapati dari mana sumbernya. Bukan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan pula perkataan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran, karena tergolong hadits dha’if (lemah) bahkan mungkar.

Dari sisi kandungan, hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu dan melarang dari berpecah-belah.

Para pembaca rahimakumullah, bagaimanakah ciri-ciri dan jalan hidup yang ditempuh oleh golongan yang selamat itu? Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti pemaparan tentang manhaj (jalan hidup) yang ditempuh oleh satu-satunya golongan yang selamat tersebut, sehingga kita bisa meniti jejak mereka.

MANHAJ (JALAN HIDUP) GOLONGAN YANG SELAMAT

Yaitu yang terkandung Al-Qur’anul Karim yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau jelaskan kepada para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dalam hadits-hadits yang shahih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh dengan keduanya:

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) dengan keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’)

“Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya/tuntunannya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya.” (An-Nisaa’: 59)

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, red) sebagai hakim (penentu keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Aku mengira mereka akan binasa. Aku sampaikan (kepada mereka) sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang mereka menimpalinya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad dan Ibnu ‘Abdil Barr)

Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terkadang ia terjatuh kepada kesalahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad)

Imam Malik berkata, “Tak seorang pun sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan ucapannya diambil atau ditinggalkan (ditolak), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang ucapannya selalu diambil dan diterima).”

Mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdo’a dan memohon pertolongan baik pada masa sulit maupun lapang, menyembelih kurban, ber-nadzar, tawakkal, berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan berbagai bentuk ibadah lain yang semuanya menjadi dasar bagi tegaknya Daulah Islamiyah yang benar. Menjauhi dan membasmi berbagai bentuk kesyirikan dengan segala bentuknya yang banyak ditemui di negara-negara Islam, sebab hal itu merupakan konsekuensi tauhid. Dan sungguh, suatu golongan tidak mungkin mencapai kemenangan jika ia meremehkan masalah tauhid, tidak membendung dan memerangi syirik dengan segala bentuknya. Hal-hal di atas merupakan teladan dari para rasul dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaumnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad-Dani dengan sanad yang shahih.“)

Golongan Yang Selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum-hukum Islam) dari Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih, dan pendapat-pendapat para imam mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. Hal ini sesuai dengan wasiat mereka, yang menganjurkan agar para pengikutnya mengambil hadits shahih, dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengannya.

Mereka mengingkari cara-cara bid’ah dalam hal agama yang jauh dari sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan mengingkari sekte-sekte sesat yang memecah belah umat.

Sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk Al-Jannah (Surga) dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala dan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Golongan Yang Selamat mengajak manusia berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukumNya abadi sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman.

Umat Islam tidak akan jaya dan mulia kecuali dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya, baik secara pribadi, kelompok maupun secara pemerintahan. Sebagai realisasi dari firmanNya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)

Berjihad di jalan Allah wajib bagi setiap muslim sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya. Jihad dapat dilakukan dengan:

Pertama, jihad dengan lisan dan tulisan: Mengajak umat Islam dan umat lainnya agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal yang akan menimpa umat Islam ini. Beliau bersabda:

“Tidaklah terjadi Hari Kiamat hingga kelompok-kelompok dari umatku mengikuti orang-orang musyrik, dan kelompok-kelompok dari umatku menyembah berhala-berhala.” (Hadits shahih, riwayat Abu Dawud, hadits yang semakna ada dalam riwayat Muslim)

Kedua, jihad dengan harta: Menginfakkan harta untuk penyebaran dan peluasan ajaran Islam, mencetak buku-buku dakwah ke jalan yang benar, memberikan santunan kepada umat Islam yang masih lemah imannya agar tetap memeluk agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang, memberikan bekal kepada para mujahidin, baik berupa makanan, pakaian, atau keperluan lain yang dibutuhkan.

Ketiga, jihad dengan jiwa: Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah (Laa ilaaha illallah) tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina.

Dalam hubungannya dengan ketiga perincian jihad di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:

“Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu.” (HR. Abu Dawud, hadits shahih)

Tentunya, jihad dengan jiwa ini haruslah di bawah komando pemerintah. Tidak bisa dilakukan secara individu atau kelompok tertentu.

Demikianlah di antara jalan hidup golongan yang selamat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita termasuk dari mereka, dengan suatu harapan mendapatkan keselamatan dari Allah, baik dalam kehidupan dunia, maupun kehidupan akhirat kelak. Amin.

Sumber:

http://www.buletin-alilmu.com/mengenal-jalan-hidup-golongan-yang-selamat-manhaj-al-firqah-an-najiyah